Mengenal Alergen Ingestan

Apa itu Rinitis Alergi?

Rinitis alergika (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE yang dipicu oleh alergen tertentu. 

Gejala yang khas pada RA yaitu adanya keluhan hidung gatal, hidung tersumbat yang diikuti serangan bersin frekuen dan keluarnya ingus cair yang cukup banyak. Gambaran klinis pada pasien RA berupa Allergic salute yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal, Allergic shiners yaitu lingkaran hitam di sekitar mata, dan nasal crease yaitu lipatan horizontal yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan. 

Seberapa banyak orang yang menderita Rinitis?

Tingkat Prevalensi RA sangat bervariasi namun studi epidemiologi yang dilakukan menyatakan bahwa 20 hingga 30% orang dewasa dan hingga 40% anak-anak terpengaruh oleh adanya kejadian RA. Di Amerika Serikat, studi terbesar menunjukkan prevalensi AR adalah sekitar 10% hingga 20%. Prevalensi RA yang dikonfirmasi pada orang dewasa di Eropa berkisar antara 17% hingga 28,5%.   Adapun penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, khususnya Semarang didapatkan hasil bahwa kejadian RA pada siswa umur 16-19 tahun didapatkan prevalensi sebesar 30,2%.

Apa itu alergen?

Alergen adalah suatu komponen yang dapat memicu terjadinya alergi atau berupa reaksi imunologis pada tubuh. alergen memilik kandungan protein atau glikoprotein yang didapatkan dari komponen makhluk hidup seperti tumbuhan dan hewan.

Alergen pemicu yang dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis dari RA dapat dibedakan berdasarkan cara masuknya alergen kedalam tubuh, yaitu :

  • Alergen Inhalan/aeroalergen, merupakan alergen yang terhirup masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. Alergen ini merupakan penyebab RA tersering pada dewasa
  • Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. Alergen ini merupakan penyebab RA tersering pada anak-anak.
  • Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
  • Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Alergen ingestan yang lebih sering terjadi pada anak-anak memiliki lebih banyak variasi gejala. timbulnya gejala RA dapat disertai dengan gejala pada kulit seperti gatal-gatal (urtikaria), pembengkakan pada kulit dan bibir (angioedema), kemerahan dan gatal, dan gejala gastrointestinal seperti muntah dan diare akut. gejala lain yang dapat menyertai adalah timbulnya reaksi anafilaktik yang merupakan gangguan alergi tak terduga yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah konsumsi alergen makanan. Gejala anafilaksis dapat melibatkan kombinasi gejala kulit, pernapasan, gastrointestinal, peredaran darah dan / atau neurologis.

ALERGEN INGESTAN

Toleransi oral yang tidak berkembang atau terganggu menyebabkan terjadinya respon alergi terhadap alergen pada makanan yang dikonsumsi melalui absorbsi dan ditransportasikan ke seluruh tubuh dalam proses imunologi. keberadaan antibodi karena kontak alergen yang terjadi di saluran cerna dapat memicu reaksi alergi saluran pernafasan.

Alergi Makanan

Alergi makanan adalah keadaan darurat alergi yang biasanya terjadi dalam beberapa menit pertama hingga dua jam dan dapat menyebabkan timbulnya gatal, urtikaria (urtikaria), pembengkakan wajah, lidah, atau bagian belakang tenggorokan secara tiba-tiba yang mungkin disertai dengan kesulitan bernapas dan / atau pusing dan hipotensi. Mekanisme umum yang menyebabkan berbagai alergi makanan adalah kurangnya toleransi imunologis dan klinis terhadap makanan yang dicerna, yang mengakibatkan reaksi langsung atau akut yang dimediasi oleh antibodi spesifik, yaitu imunoglobulin-E (IgE), atau gangguan klinis tertunda melalui sel imun spesifik.1

        Alergi makanan tidak sama dengan intoleransi makanan, yang disebabkan oleh reaksi non-imunologis terhadap makanan. Pada intoleransi laktosa dimana jenis gula pada susu (laktosa) tidak dapat dicerna secara efektif karena enzim laktase yang hilang. Penderita mengalami diare, kembung, mual dan rasa tidak nyaman setelah minum susu karena mengkonsumsi makanan yang mengandung susu sapi. Mereka bisa mentolerir susu almond atau kedelai tanpa gejala.1

Tingkat alergi makanan bervariasi menurut umur, pola makan lokal, dan banyak faktor lainnya. Studi di Inggris dan Amerika Utara yang berfokus pada kacang tanah menunjukkan bahwa tingkat prevalensi pada anak-anak telah meningkat, pada dasarnya berlipat ganda, dan melebihi 1% pada anak usia sekolah.  Beberapa alergi makanan memiliki tingkat resolusi yang tinggi, atau tumbuh dari masa kanak-kanak, seperti susu (> 50% pada usia 5-10 tahun), telur (sekitar 50% pada usia 2-9 tahun), gandum (50 % pada usia 7 tahun), dan kedelai (45% pada usia 6 tahun). Alergi makanan lain biasanya bertahan atau memiliki tingkat resolusi rendah pada masa kanak-kanak: alergi kacang tanah (sekitar 20% pada usia 4 tahun), alergi kacang kenari (sekitar 10%), dan alergi terhadap biji-bijian, ikan, dan kerang juga dianggap persisten. Alergi makanan lebih jarang muncul dalam kehidupan orang dewasa. 

FAKTOR RISIKO

Rinitis alergi bersifat diturunkan dalam keluarga dan merupakan penyakit multifaktor, yang meliputi interaksi faktor genetik dan lingkungan. Risiko anak terkena alergi lebih tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita alergi baik salah satu maupun keduanya.

Faktor risiko lingkungan dapat berasal dari paparan alergen yang berasal dari binatang piaraan, serangga seperti tungau debu rumah, makanan atau tanaman.

PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Apa yang akan dokter lakukan?

A.    Anamnesis

Selain keluhan khas rinitis alergi yang disampaikan pasien, dokter akan menanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap), lama gejala, derajat gejala, keluhan penyerta lainnya, kondisi lingkungan dan pekerjaan. 

 akan mengidentifikasi faktor risiko berupa riwayat alergi dan lingkungan yang berperan pada ekspresi rinitis alergi serta respon terhadap pengobatan. Karena alergen bisa berasal dari makanan dan menimbulkan reaksi alergi pada pernafasan, sampaikan ke dokter ya, apabila mempunyai alergi pada makanan tertentu.

Dari anamnesis, dokter akan mengklasifikasikan RA menurut World Health Organization – Allergic and Rinitis on Its Impact on Asthma (WHO-ARIA) berdasarkan lama dan derajat gejala. 

Berdasarkan persistensi:

1.      Rinitis alergi intermitten, bila gejala berlangsung :

  • Kurang dari 4 hari/minggu
  • Atau kurang dari 4 minggu

2.      Rinitis alergi persisten, bila gejala berlangsung :

  • Lebih dari 4 hari/minggu
  • Dan lebih dari 4 minggu 

Berdasarkan derajat gejala:

  1. Ringan, bila tidak ditemukan satupun dari hal-hal berikut
  2. Gangguan tidur
  3.  Gangguan aktivitas sehari-hari
  4. Gangguan pekerjaan atau sekolah
  5. Gejala dirasa mengganggu
  6. Sedang berat, bila didapatkan salah satu atau lebih hal sebagaimana disebut di atas.

B. Pemeriksaan fisik

Dokter akan memeriksa telinga, hidung, dan tenggorokan untuk mencari tanda klinis rinitis alergi. Pemeriksaan yang dilakukan dibantu dengan lampu kepala dan alat pemeriksaan khusus THT.

C. Pemeriksan penunjang

Pemeriksaan penunjang dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada untuk membantu identifikasi imunologi terhadap alergen

Bisakah alergi makanan dicegah?

a.       Maternal Diet

Tidak ada cukup bukti untuk mendukung intervensi pembatasan pola makan ibu selama kehamilan atau menyusui dalam mencegah alergi makanan. Para ibu disarankan untuk makan semua makanan secukupnya.1

b.       Metode kelahiran

Sebuah studi kohort Swedia secara nasional terhadap lebih dari 1 juta anak menunjukkan bahwa anak-anak yang dilahirkan melalui operasi caesar memiliki risiko 21 persen lebih tinggi untuk mengembangkan alergi makanan daripada mereka yang lahir melalui persalinan pervaginam. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan peningkatan kemungkinan alergi susu dan asma pada bayi operasi caesar, dibandingkan dengan yang dilahirkan secara alami melalui vagina. Mikrobioma (flora bakteri) pada vagina menjajah bayi saat melewati lingkungannya yang sebelumnya steril. Diperkirakan bahwa paparan bakteri, terutama di usus, mengarahkan perkembangan sistem kekebalan. Bayi bedah Caesar harus mengambil bakterinya dari ruang operasi dan kemungkinan menderita Clostridium difficile lebih banyak. Upaya untuk menggantikan flora normal menggunakan sekresi vagina ibu terbukti tidak efektif. Penggunaan probiotik sedang diselidiki.1

c.       ASI dan susu formula

–   Laporan sebelumnya menyimpulkan bahwa tidak ada manfaat jangka pendek atau jangka panjang untuk pemberian ASI eksklusif lebih dari tiga sampai empat bulan untuk mencegah penyakit atopik, namun manfaat kesehatan lainnya didefinisikan dengan baik. Tidak ada cukup data tentang hubungan langsung menyusui dengan timbulnya alergi makanan.

–   Belum ada bukti bahwa peran formula terhidrolisis sebagian atau ekstensif mencegah timbulnya alergi makanan tertentu.1

d.      Makanan pendamping

–   Belum ada bukti manfaat menunda pengenalan makanan yang menyebabkan alergi melebihi usia empat sampai enam bulan untuk pencegahan penyakit atopik, termasuk kacang tanah, telur, dan ikan.

–   Pada bayi berisiko tinggi (dengan eksim parah, alergi telur, atau keduanya), pengenalan awal kacang dapat mencegah alergi kacang, sehingga protein kacang direkomendasikan untuk diperkenalkan sedini antara empat dan enam bulan, di bawah pengawasan ahli alergi.

–   Meskipun laporan sebelumnya yang mendukung keuntungan pengenalan telur dini kurang jelas, uji coba secara acak menggunakan telur yang dipanaskan menunjukkan bahwa pengenalan telur kemungkinan dapat mencegah alergi telur pada bayi dengan eksim.1

Mencegah timbulnya gejala alergi

  • alergi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikurangi timbulnya gejala. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dengan menghindari paparan dari alergen. pada alergen ingestan, hal ini harus mengikutsertakan semua pihak yang bertanggung jawab pada persiapan makanan. Dapat dengan memberikan label pada produk-produk yang akan diolah seperti produk yang mengandung susu, telur, kacang, ikan atau alergen lain. Serta ketelitian dalam mengetahui komposisi makanan yang dikonsumsi.
  • jika pencegahan dengan penghindaran alergen gagal dan muncul reaksi alergi, periksaan diri ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan dan penatalaksaan lebih lanjut

Kapan harus ke ahli alergi?

Dokter perawatan primer atau dokter anak dapat mendiagnosis dan menangani alergi makanan, namun, ada situasi di mana dokter merekomendasikan rujukan ke ahli alergi1:

  • Dugaan anafilaksis
  • Dugaan alergi makanan dan gagal tumbuh
  • alergi terhadap banyak makanan
  • Penyakit alergi signifikan lainnya yang muncul bersamaan (seperti anak dengan eksim yang signifikan dan alergi makanan atau dengan asma yang tidak terkontrol dan alergi makanan)
  • Untuk melakukan Oral Food Challenge ( OFC) atau reintroduksi makanan dalam alergi makanan yang dimediasi IgE
  • Ketidaksesuaian antara riwayat klinis dan tes alergi makanan


DAFTAR PUSTAKA

  1. Meltzer EO. Allergic Rinitis. Burden of Illness, Quality of Life, Comorbidities, and Control. Immunol Allergy Clin North Am. 2016;36(2):235–48. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.iac.2015.12.002
  2. Nugraha, P. Y. Prevalensi Dan Faktor Resiko Rinitis Alergi Pada Siswa Sekolah Umur 16-19 Tahun Di Kodya Semarang (Studi Kasus pada Siswa SMA N 3 dan SMA N 12 Semarang). Available from : http://eprints.undip.ac. 2011:1, 11–12.
  3. Mims JW. Epidemiology of allergic rinitis. Int Forum Allergy Rhinol. 2014;4(2):18–20.
  4. Small P, Kim H. Allergic rinitis. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2011;7(1):1–8.
  5. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens W, Togias A, et al. Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 update: In collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen. Allergologie. 2009;32(8):306–19. 
  6. Kaplan, A.P., 2003. Allergic rinitis and asthma: A continuum of upper airway disease. Astma, 4(S1), p.46.
  7. al-Abri, R., Al-Amri, A. S., Al-Dhahli, Z., & Varghese, A. M. (2018). Allergic rinitis in relation to food allergies: Pointers to future research. Sultan Qaboos University Medical Journal, 18(1), e30–e33. https://doi.org/10.18295/squmj.2018.18.01.005
  8. Dahdah, L., Sato, S., Hossny, E., Irani, C., Said, M., & Scadding, G. (2019). The Global Problem of food allergy – Information Sheet. World Allergy WeekWorld Allergy Week, 1–8. Retrieved from https://www.worldallergy.org/UserFiles/file/WAO-2019-Food-Allergy-Information-Sheet.pdf
  9. Shichere SH, Sampson HA. Peanut Allergy. Emerging concept and approaches for an apparent epidemic. J Allergy Clin Immunol 2007; 120:491-503
  10. Bambang A, Hartono, Cahyono A. Kelainan Laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi keenam. Balai Penerbitan FK UI. Jakarta, 2008.
  11. Akhouri S HS. Allergic Rinitis. Treasure Isl StatPearls Publ 2020; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538186/
  12. Kam, A. Raveinal. (2018) Imunopatogenesis dan Implikasi Klinis Alergi Makanan pada Dewasa. (suppl 2);144-150

Credit :

Ananda Rizky Hapsary         

Astari Dwi H                          

Martin Livanto                       

Nadia Safaningrum                

Septya Anis Zamhariro          

dr. Yanuar Iman Santosa, Sp.THT-KL., MSi.Med

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *